Kisah telantarnya tamu Istana mestinya menampar muka pemerintah. Sungguh keterlaluan, para tamu terhormat yang diundang untuk meramaikan peringatan Hari Kemerdekaan dibiarkan menderita di Jakarta. Bahkan mereka terlunta-lunta karena tidak punya duit. Bukan sekadar kelalaian kecil—jangan-jangan, inilah cermin betapa buruk pemerintah melayani warga.
Tengoklah pengalaman pahit Yuni Veronika, juara catur antarpelajar sedunia. Bersama ayahnya, bocah 11 tahun ini terlunta-lunta setelah diundang menghadiri upacara Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka. Mereka mengaku tak punya biaya untuk pulang ke Riau. Pejabat di Departemen Pendidikan Nasional tidak mau mengurusnya. Alasannya, kedatangan Yuni merupakan tanggung jawab pengurus Persatuan Catur Seluruh Indonesia di Riau.
Pemerintah pusat seharusnya bertanggung jawab pula atas nasib tamunya. Jika panitia atau Istana Presidern tak sanggup mengurus, harus ada departemen yang ditugasi mengawal dan melayani mereka hingga pulang. Akibat tidak ada yang peduh, Yuni dan ayahnya terpaksa menginap di pos sebuah partai di Jakarta. Si bocah perempuan ini bahkan mengaku kapok datang ke Istana.
Setelah ramai diberitakan media massa, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo akhirnya memang turun tangan. Yuni dan ayahnya pun bisa pulang kampung. Pak Menteri membantah telah menelantarkannya. Tapi kisah mereka telanjur menggambarkan burulmya perilaku pejabat pemerintah pusat dalam melayani tamu dari daerah. Sikap lepas tangan, tak ada koordinasi dengan pihak lain, hanya menunjukkan mereka tak memiliki kepedulian.
Pihak Istana pun kaget ketika diberitakan ada tamu yang tak terurus. Sekitar 30 penari Baleo dari Nusa Tenggara Timur sempat mengaku telantar setelah menari di depan Presiden. Baru belakangan terungkap, kondisi yang sebenarnya tidak seburuk yang dialami oleh Yuni. Walau begitu, bila sejak semula ada pejabat pusat yang mengurusi mereka atau, paling tidak, memantau, penari-penah itu pasti tak memberikan keterangan yang sembarangan kepada pers.
Urusan melayani tamu Istana tidak bisa dianggap remeh. Bila tamu yang terhormat saja ditelantarkan, bagaimana nasib warga biasa? Jelas, masalah yang kelihatan sepele ini mencerminkan pula sikap sehari-hari para pejabat dan aparat pemerintah melayani warga. Kerap kali mereka sibuk mengurusi diri sendiri dan melupakan tugas menjamin terpenuhinya hak-hak warga.
Mungkin program telah dibuat, anggaran telah dikucurkan, dan orang yang bertanggung jawab telah ditunjuk, tapi mereka lupa memastikan bahwa warga benar-benar telah mendapat sentuhan tangan-tangan pemerintah. Akibatnya, warga tidak mendapat layanan maksimal dalam berbagai hal, terutama pendidikan, kesehatan, juga kesejahteraan.
Begitu pula kisah Yuni dan ayahnya. Andaikata ada aparat pemerintah yang ditugasi memastikan mereka bisa pulang ke daerahnya dengan selamat, tentu tak akan telantar.
Tengoklah pengalaman pahit Yuni Veronika, juara catur antarpelajar sedunia. Bersama ayahnya, bocah 11 tahun ini terlunta-lunta setelah diundang menghadiri upacara Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka. Mereka mengaku tak punya biaya untuk pulang ke Riau. Pejabat di Departemen Pendidikan Nasional tidak mau mengurusnya. Alasannya, kedatangan Yuni merupakan tanggung jawab pengurus Persatuan Catur Seluruh Indonesia di Riau.
Pemerintah pusat seharusnya bertanggung jawab pula atas nasib tamunya. Jika panitia atau Istana Presidern tak sanggup mengurus, harus ada departemen yang ditugasi mengawal dan melayani mereka hingga pulang. Akibat tidak ada yang peduh, Yuni dan ayahnya terpaksa menginap di pos sebuah partai di Jakarta. Si bocah perempuan ini bahkan mengaku kapok datang ke Istana.
Setelah ramai diberitakan media massa, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo akhirnya memang turun tangan. Yuni dan ayahnya pun bisa pulang kampung. Pak Menteri membantah telah menelantarkannya. Tapi kisah mereka telanjur menggambarkan burulmya perilaku pejabat pemerintah pusat dalam melayani tamu dari daerah. Sikap lepas tangan, tak ada koordinasi dengan pihak lain, hanya menunjukkan mereka tak memiliki kepedulian.
Pihak Istana pun kaget ketika diberitakan ada tamu yang tak terurus. Sekitar 30 penari Baleo dari Nusa Tenggara Timur sempat mengaku telantar setelah menari di depan Presiden. Baru belakangan terungkap, kondisi yang sebenarnya tidak seburuk yang dialami oleh Yuni. Walau begitu, bila sejak semula ada pejabat pusat yang mengurusi mereka atau, paling tidak, memantau, penari-penah itu pasti tak memberikan keterangan yang sembarangan kepada pers.
Urusan melayani tamu Istana tidak bisa dianggap remeh. Bila tamu yang terhormat saja ditelantarkan, bagaimana nasib warga biasa? Jelas, masalah yang kelihatan sepele ini mencerminkan pula sikap sehari-hari para pejabat dan aparat pemerintah melayani warga. Kerap kali mereka sibuk mengurusi diri sendiri dan melupakan tugas menjamin terpenuhinya hak-hak warga.
Mungkin program telah dibuat, anggaran telah dikucurkan, dan orang yang bertanggung jawab telah ditunjuk, tapi mereka lupa memastikan bahwa warga benar-benar telah mendapat sentuhan tangan-tangan pemerintah. Akibatnya, warga tidak mendapat layanan maksimal dalam berbagai hal, terutama pendidikan, kesehatan, juga kesejahteraan.
Begitu pula kisah Yuni dan ayahnya. Andaikata ada aparat pemerintah yang ditugasi memastikan mereka bisa pulang ke daerahnya dengan selamat, tentu tak akan telantar.
Sumber: Editorial Koran Tempo
Sabtu, 23 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar