Potensi tambang sudah dikenali sejak jaman moyang suku-suku Pulau Lembata. Namun, rencana penambangan oleh PT Merukh bersama Pemda berpotensi menghancurkan tanah, laut, dan ikatan dengan leluhur mereka. Warga menolak tambang bukan karena mereka menolak kesejahteraan atau tidak paham, melainkan karena sebuah bentuk kearifan lokal yang mereka pertahankan demi keberlangsungan hidup masyarakat kini dan generasi berikutnya.
Tambang emas adalah industri yang rakus lahan dan air. Untuk Lembata - pulau kecil dan tergolong daerah kering dan gersang, lahan dan air menjadi pembatas utama keselamatan warga Lembata. Oleh karenanya, tambang emas mengancam keselamatan warga Lembata.
Pulau LembataLembata merupakan salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur sebagai hasil pemekaran kabupaten Flores Timur pada 15 Oktober 1999, melalui UU Nomor 52/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata. Inilah aspirasi warga Lembata yang muncul sejak 1954. Disini ada delapan kecamatan, yakni Bayusari, Omesuri, Lebatukan, Ile Ape, Nubatukan, Atadei, Nagawatun dan Wulandoni, dengan luas wilayah 126.638 hektar, jumlah penduduknya tahun 2004 mencapai 98.114 jiwa.
Seperti kebanyakan daerah di NTT, Lembata tergolong daerah kering dan gersang. Ini juga didukung oleh satu budaya sistem perladangan tebas-bakar dan berpindah-pindah, ditambah kejadian kebakaran yang melanda sepanjang musim kemarau. Meski begitu, pertanian adalah tumpuan ekonomi warga. Pada 2000, misalnya, dari nilai total kegiatan ekonomi setara dengan Rp 88,7 miliar, pertanian menyumbang hingga 64 persen. Produksi hasil pertanian belum mencukupi pemenuhan kebutuhan lokal. Sementara jambu mete dan kelapa berkontribusi hingga Rp 5 miliar. Bersama sektor peternakan dan perikanan, juga kerajinan tenun ikat akan menjadi tulang punggung perekonomian NNT.
Perikanan tradisional juga menjadi penopang ekonomi warga Lembata, seperti tradisi Perburuan Ikan Paus. Di Pantai Selatan Lembata, terutama di Kampung Lamalera, telah lama dikenal masyarakat nasional dan internasional dengan tradisi perburuan ikan paus. Perairan Lamalera dan Lamakera merupakan daerah tempat hidup ikan paus. Pada musim dingin di perairan pasifik atau perairan lainnya, rombongan besar ikan paus akan mengungsi ke daerah selat sekitar Lamalera dan Lamakera. Saat itulah masyarakat mulai berburu ikan paus. Tradisi ini terancam hilang oleh kegiatan tambang dengan gelontoran limbah ke laut.
Saat ini, Lembata dihadapkan pada masalah minimnya infrastruktur. Kondisi sarana transportasi darat yang rusak, angkutan umum dan penyediaan listrik yang terbatas.
Potensi tambang sudah dikenali sejak jaman moyang suku-suku Pulau Lembata. Dalam bahasa lokal Lembaga disebutkan Ihin weren laba lodan, yang berarti adanya kandungan emas dalam tanah. Tradisi dan istilah inilah yang secara turun temurun diyakini bahwa emas adalah bagian dari “Ibu Bumi” yang diwariskan kepada mereka. Tak hanya emas, Lembata juga kaya bahan galian, diantaranya keramik di Nagawutung, Omesuri dan Buyasuri; besi dan pasir besi di Lebatukan, Buyasuri dan Namaweka; minyak tanah di Nagawutung; gas alam di Atadei; dan batu barit di Atanila.
Ancaman Tambang Emas Berdasarkan kronologi kasus rencana penambangan emas di Kabupaten Lembata, dapat dipelajari bagaimana sebenarnya sikap masyarakat terhadap rencana penambangan yang akan dijalankan Pemda bersama PT Merukh. Masyarakat tegas menolak rencana penambangan. Penolakan mereka ungkapkan melalui berbagai aksi: mulai surat pernyataan, aksi yang melibatkan massa dalam jumlah besar, sampai ritual dan sumpah adat. Sayang, sikap tegas masyarakat berhadapan dengan sikap pemerintah dan DPRD Kabupaten Lembata yang bersikukuh meneruskan rencana penambangan.
Ada yang beranggapan alasan penolakan masyarakat karena kurang atau tidak tepatnya sosialisasi. Padahal, mereka menolak bukan karena mereka tidak paham. Sebaliknya, mereka menolak tambang justru karena sepenuhnya sadar tentang apa artinya tambang bagi kehidupan mereka, kini dan di masa mendatang. Penolakan itu didasarkan pada sejumlah pertimbangan berikut:
Menghancurkan tanah, laut & ikatan dengan leluhur. Masyarakat menolak tambang, bukan saja karena merasa terancam kehilangan lahan pertanian dan hasil laut penopang hidup mereka. Penolakan juga dilandasi kekuatiran terputusnya ikatan dengan tanah warisan leluhur, yang berarti terputusnya ikatan mereka dengan para leluhur yang selama ini menjaga hidup mereka.
Melahirkan pengungsi dan konflik. Tak ada yang mampu menggambarkan kecemasan mendalam yang dirasakan warga atas rencana hadirnya tambang emas. Hidup keseharian mereka, yang betapapun sederhana, telah dirasakan sebagai kesejahteraan. Kesejahteraan ini jauh melebihi keberlimpahan materi yang dijanjikan tambang. Dari sini bisa dinilai betapa jauh jarak sudut pandang antara pemerintah/ DPRD dan khalayak biasa dalam melihat ukuran kesejahteraan.
Warga menolak tambang, tentu bukan karena mereka menolak kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan itulah yang mereka persoalkan. Berbeda dengan para pejabat, bagi masyarakat yang bersahaja itu, kesejahteraan sama dengan kampung halaman warisan leluhur (Lewoulung), lahan pertanian (Mang, Nura Newa) yang menjadi penopang kehidupan, dan pusat-pusat ritual adat (Nuba Nara). Kehilangan semuanya itu membuat kehidupan berubah menjadi hilang, dicabut dari tempat mereka berakar dan berbagi sebagai komunitas selama puluhan tahun. Terusir dari kampung halaman berarti hidup di atas tanah suku orang lain yang kelak bisa menimbulkan konflik.
Hanya menguntungkan segelintir orang. Berdasar pengalaman penambangan emas di wilayah lain, warga meragukan keuntungan yang bisa diperoleh dari tambang. Lebih dari itu, mereka juga belajar bagaimana tambang hanya akan menguntungkan orang-orang tertentu, bukan warga setempat. Mereka bukan hanya berpikir dampak negatif tambang terhadap kehidupan alam dan manusia, tetapi juga dampaknya bagi generasi berikutnya.
Kegelisahan karena kehidupannya terancam. Rencana penambangan yang dibuat pemerintah bersama PT Merukh membuat masyarakat gelisah karena merasa kehidupannya terancam. Terlebih sejak mereka mendengar daerahnya termasuk dalam lokasi bakal tambang. Kegelisahan yang dirasakan masyarakat ini mendorong para kepala desa mengambil sikap berpihak pada rakyat. Bukan sekedar menolak tambang, masyarakat juga mengajukan alternatif lain di luar tambang yang bisa dikembangkan pemerintah. Salah satu alternatif yang diajukan masyarakat adalah pengembangan potensi kelautan, pertanian, dan pengembangan pariwisata.
Sikap menolak tambang adalah bagian kearifan lokal. Sikap masyarakat untuk menolak tambang bukanlah bentuk ketidakpahaman atau cerminan kebodohan sebagaimana dilihat para elite selama ini. Sebaliknya, itu adalah bentuk kearifan lokal yang mereka pertahankan demi keberlangsungan hidup masyarakat kini dan generasi berikutnya. Masyarakat adat memiliki kearifan menghormati alam sebagai ibu mereka dan karenanya mereka juga tidak memperjualbelikan tanah. Mereka tidak menghendaki kesejahteraan sesaat, yang hanya diukur dari tumpukan rupiah atau bongkahan emas. Kesejahteraan jangka panjang mengandalkan hidup selaras alam adalah pilihan mereka.
Karenanya, mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan alam pada mereka. Hidup berlimpah dengan cara menyakiti bumi adalah tabu. Eksploitasi manusia atas alam di mata masyarakat adat Lembata telah membuat alam sendiri sakit dan menderita. Dan manusia juga yang akan menanggung akibatnya.
Dua Pertimbangan
Pertama, Lembata tergolong daerah kering dan gersang, dengan 7 hingga 8 bulan musim kemarau. Curah hujannya kurang dari 60 mm per bulan. Kesulitan air adalah problem utama. Kegiatan tambang, mulai penggundulan hutan, pembongkaran kulit dan perut bumi, berpotensi mendatangkan bencana banjir, tanah longsor dan krisis air yang jauh lebih buruk lagi. Sebelum ada pertambangan saja, masyarakat sudah kesulitan air. Apalagi bila ada industri tambang yang bukan hanya rakus air, tetapi juga berpotensi mencemari sumber air yang ada.
Kedua, Kawasan Lembata memiliki kemiringan antara 0-75% itu, merupakan daerah yang sangat rentan terhadap bencana. Sebab letaknya di jalur lempeng bumi yang senantiasa bergerak. Ia juga berada dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dengan gunung-gunung api yang aktif, baik di darat maupun di laut selatan pulau. Adanya pertambangan bisa berdampak pada: a) terjadi patahan lapisan bumi. Patahan lapisan bumi terjadi karena penggalian atas lapisan bumi yang lain. b) mengingat bumi tidaklah datar melainkan bulat lonjong, maka penambangan akan meremukkan lapisan tanah. Tambang berpotensi membuat pulau Lembata tenggelam. Apalagi wilayah yang dicadangkan PT Meruhk mencapai keseluruhan luas pulau
Lembata yang kecil itu.Tipuan dan Akal Licik. Dalam materi sosialisasi oleh PT Merukh dihadapan bupati beserta dinas terkait dan ketua DPRD, perusahaan tambang hanya memaparkan aspek keuntungan tambang.
PT Merukh sama sekali tidak memaparkan soal kerugian atau resiko yang dihadapi pemerintah dan masyarakat Lembata jika tambang itu berjalan. Disebutkan manfaatnya: (1) Community development, dengan memberi beasiswa bagi pelajar-pelajar berprestasi, baik pendidikan tingkat dasar sampai tinggi. (2) Membangun pemukiman berupa kota mini bagi penduduk yang tanahnya dipakai perusahaan. (3) Memberi prioritas pertama bagi penduduk lokal untuk pembukaan lapangan usaha UKM dan lapangan kerja. (4) Pembangunan infrastruktur berupa jalan raya, BTS, dan tenaga listrik. (5) Sumbangan untuk APBD. (4) Membangun rumah sakit. (4) Royalti dari hasil tambang yang akan dimasukkan ke rekening Pemkab kabupaten Lembata.
Masyarakat Lembata dengan kearifannya masih bisa melihat alternatif lain di luar tambang dan tidak silau gemerlap butiran emas. Emas, yang untuk mengambilnya saja kita harus merobek dan menyakiti rahim ibu pertiwi itu, memang tidak pantas dibela dan diagungkan sebagai penopang kesejahteraan rakyat. Terhadap rencana pertambangan yang hendak dijalankan pemerintah bersama PT Merukh, masyarakat memilih kembali kepada kearifan leluhur yang menempatkan emas bagian rahim “Ibu Bumi” yang tidak sepantasnya dibongkar.
Berdasarkan kronologi kasus pertambangan sejak ditandatanganinya MoU oleh Bupati Lembata sampai sidang paripurna DPRD untuk meninjau kembali MoU, dapat dilihat bahwa seluruh komponen masyarakat di seluruh lokasi bakal tambang, yang terdiri dari tokoh masyarakat, tetua adat, pemimpin desa, petani, nelayan, perempuan, kaum muda dan para pastor sedekenat
Lembata telah dengan tegas menolak tambang. Artinya, dalam kasus pertambangan ini, pemerintah tidak memiliki legitimasi untuk meneruskan rencana pertambangan di Lembata.
Meneruskan rencaa pertambangan hanya akan membawa kerugian jangka panjang, bukan hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi kabupaten Lembata secara keseluruhan.