Jumat, 29 Agustus 2008

Kekerasan ala Satpol PP Tak Dibenarkan

Indo Pos; Kamis, 28 Agustus 2008
SATPOL PP seyogianya menjadi ujung tombak pemerintahan kota dalam melakukan penertiban terhadap hal-hal yang dinilai melanggar tata ruang. Dengan dalih penertiban, PKL, asongan dan pengamen, penertiban dilakukan terus tanpa, mengindahkan sisi kemanusiaan dan solusi kengkret.
Terbaru, terjadi Selasa (27/8) di Sa­lemba, Jakarta Pusat. Aksi ini adalah salah satu tindakan tidak terpuji yang ditunjukkan oleh oknum ber­seragam biru tua ini. Apa pun alasannya, tindakan penyerbuan yang dilakukan oleh sekitar seratus lebih oknum Satpol PP Pemprov Jakpus ini adalah bentuk prema­nisme yang sedang dipraktekan oleh mereka.
Bak mempertunjukan aksi akrobatiknya di medan perang ok­num Satpol PP dengan gagahnya melontarkan satu per satu peluru batu ke arah gedung Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) yang juga menjadi sekretariat Gerakan Maha­siswa Kristen Indonesia (GMKI).
Kejadian itu berawal dari pener­tiban atau penurunan spanduk-spanduk mahasiswa GMKI yang beri­sikan nada-nada kecaman terhadap penertiban PKL. Hal ini kemudian berlajut dengan saling ejek antara mahasiswa dan Satpol PP yang berakhir dengan penyerbuan Satpol PP ke gedung PGI tersebut. Kaca-­kaca jendela dan ruangan sidang serta beberapa sepeda motor yang di parkir menjadi sasaran luapan kemarahan oknum Satpol PP yang tak bertanggung jawab ini.
Oleh sebagian orang yang tidak puas akan tindakan mereka, nama Satpol PP sering diplesetkan menjadi Preman Pemerintah atau Preman Pasar dan sebagainya. Maka dengan melihat kasus di atas, tidak salah lagi Satpol PP adalah sama dengan Preman Pasar. Preman kelas teri yang bentrok memperebutkan lahan parkir atau tak bedanya dengan siswa berseragam yang tawuran antar pelajar di jalanan ibu kota lantaran tidak terima temannya diejek.
Maka sangat diharapkan agar kejadian ini adalah yang terakhir dan tidak terulang kembali. Satpol PP semestinya lebih arif dan sabar dalam mengambil tindakan. Tidak semes­tinya aksi emosional warga diladeni dengan aksi serupa. Hal ini tentunya berakibat turunnya reputasi dan nama baik Satpol PP di masyarakat. (*)

Ina Patricia N.
Jalan Surya Pranoto, Petojo, Jakarta Pusat

Kamis, 28 Agustus 2008

Penari Istana Asal NTT Telantar Dipulangkan

HUT KEMERDEKAAN

JAKARTA (MI): Sebanyak 30 pe­nari asal Lembata, Nusa Tenggara Timor (NTT) yang beraksi di Ista­na Negara saat acara HUT ke-63 Kemerdekaan RI di Istana Nega­ra, 17 Agustus lalu, akhirnya pu­lang setelah hampir sepekan te­lantar di Jakarta, kemarin.

Para penari tarian Baleo, yang mengisahkan tentang proses pe­nangkapan ikan paus, itu terdiri dari siswa SLTA. Nasib mereka terkatung-katung di sebuah ru­mah kontrakan milik Dominik Rully di kawasan Jatinegara, Ja­karta Timur, karena ditelantarkan pimpinan rombongan, yang juga Kepala Dinas Depdiknas Lemba­ta, Martin Didi Lejak.

Sebelumnya, para penari ini menginap di Graha Wisata Rema­ja TMII, selama sepuluh hari se­belum upacara di istana.

Namun, sehari setelah tampil menawan di istana, mereka diusir dari penginapan karena Martin menarik uang yang disetorkan kepada pengelola penginapan, sedangkan Martin menghilang.

"Mereka sewa penginapan un­tuk penari dan rombongan. Total uang sewa Rp 1 juta. Pembayar­an dilunasi begitu mereka datang. Tiap penari dijanjikan uang saku Rp1 juta," kata Dominik.

Selama sepakan berada di Ja­karta, para penari itu makan sea­danya dan tidur berjubel beralas­kan lantai di sebuah rumah kon­trakan.
Anggota DPR dari daerah pe­milihan I NTT Setya Novanto me­ngunjungi para penari itu di ke­diaman Dominik. "Saya lihat be­rita dari televisi. Lalu saya ke sana. Saya kaget melihat anak-anak pada tidur di lantai," katanya.

Melihat keadaan itu, Novanto lalu memberikan bantuan uang dan makanan, serta menyediakan bus untuk mengangkut para pe­nari ke Bandara Soekarno-Hatta.

Novanto meminta agar Pemda NTT, khususnya Pemda Lembata harus mengusut tuntas masalah itu. (Hil/J-3)

Sumber; Media Indonesia; Minggu, 24 Agustus 2008

Tamu Istana pun Terlantar

Kisah telantarnya tamu Istana mestinya menampar muka pemerintah. Sungguh keterlaluan, para ta­mu terhormat yang diundang untuk meramaikan peringatan Hari Kemerdekaan dibiarkan menderita di Jakarta. Bahkan mereka terlunta-lunta karena tidak punya duit. Bukan sekadar kelalaian kecil—jangan-jangan, inilah cermin betapa buruk pemerintah mela­yani warga.

Tengoklah pengalaman pahit Yuni Veronika, juara catur antarpelajar sedunia. Bersama ayahnya, bocah 11 tahun ini terlunta-lunta setelah diundang mengha­diri upacara Detik-detik Proklamasi di Istana Merde­ka. Mereka mengaku tak punya biaya untuk pulang ke Riau. Pejabat di Departemen Pendidikan Nasional tidak mau mengurusnya. Alasannya, kedatangan Yuni merupakan tanggung jawab pengurus Persatuan Ca­tur Seluruh Indonesia di Riau.

Pemerintah pusat seharusnya bertanggung jawab pula atas nasib tamunya. Jika panitia atau Istana Pre­sidern tak sanggup mengurus, harus ada departemen yang ditugasi mengawal dan melayani mereka hingga pulang. Akibat tidak ada yang peduh, Yuni dan ayah­nya terpaksa menginap di pos sebuah partai di Jakar­ta. Si bocah perempuan ini bahkan mengaku kapok datang ke Istana.

Setelah ramai diberitakan media massa, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo akhirnya me­mang turun tangan. Yuni dan ayahnya pun bisa pu­lang kampung. Pak Menteri membantah telah mene­lantarkannya. Tapi kisah mereka telanjur menggam­barkan burulmya perilaku pejabat pemerintah pusat dalam melayani tamu dari daerah. Sikap lepas ta­ngan, tak ada koordinasi dengan pihak lain, hanya menunjukkan mereka tak memiliki kepedulian.

Pihak Istana pun kaget ketika diberitakan ada tamu yang tak terurus. Sekitar 30 penari Baleo dari Nusa Tenggara Timur sempat mengaku telantar setelah me­nari di depan Presiden. Baru belakangan terungkap, kondisi yang sebenarnya tidak seburuk yang dialami oleh Yuni. Walau begitu, bila sejak semula ada pejabat pusat yang mengurusi mereka atau, paling tidak, me­mantau, penari-penah itu pasti tak memberikan kete­rangan yang sembarangan kepada pers.

Urusan melayani tamu Istana tidak bisa dianggap remeh. Bila tamu yang terhormat saja ditelantarkan, bagaimana nasib warga biasa? Jelas, masalah yang ke­lihatan sepele ini mencerminkan pula sikap sehari-ha­ri para pejabat dan aparat pemerintah melayani war­ga. Kerap kali mereka sibuk mengurusi diri sendiri dan melupakan tugas menjamin terpenuhinya hak-­hak warga.

Mungkin program telah dibuat, anggaran telah di­kucurkan, dan orang yang bertanggung jawab telah ditunjuk, tapi mereka lupa memastikan bahwa warga benar-benar telah mendapat sentuhan tangan-tangan pemerintah. Akibatnya, warga tidak mendapat layan­an maksimal dalam berbagai hal, terutama pendidik­an, kesehatan, juga kesejahteraan.

Begitu pula kisah Yuni dan ayahnya. Andaikata ada aparat pemerintah yang ditugasi memastikan mereka bisa pulang ke daerahnya dengan selamat, tentu tak akan telantar.
Sumber: Editorial Koran Tempo
Sabtu, 23 Agustus 2008

Vatikan Desak China soal Taiwan

BEIJING, CHINA
PEMERINAH China berencana memperbaiki hubungan dengan Vatikan yang selama ini tidak harmonis. Hal itu dilakukan dengan Cara mendatangkan Pope Benedict XVI ke China. Namun, menghadirkan Pope tidaklah mudah, karena Vatikan mendesak pemerintah China memperbaiki hubungan diplomat dengan Taiwan. "Langkah pertama adalah menstabilkan hubungan diplomat," ujar Anthony Liu Bainia, Wakil Ketua Asosiasi Patriotik Katolik China (CCPA) kepada AFP.

Menurutnya, kedatangan Pope Benedict XVI akan memberikan dampak balk bagi gereja katolik di China. "Kedatangan Pope akan memberikan aspirasi. Hubungan China dengan Vatikan juga akan meningkat," ujar Joseph Li Shan, uskup gereja katolik di China kepada televisi RAI Sebelumnya, hubungan China dengan Vatikan terputus sejak 1951. Saat itu pemerintah komunis China memaksa kepastoran asing keluar dari China. Selama Revolusi Kultural yang digerakkan pemerintah komunis China pada 1966-1976, gereja Katolik juga menjadi salah satu sasaran untuk dihancurkan. (*/AFP/1-3)

Sumber: Media Indonesia, Jumat 22/8/2008

Rabu, 27 Agustus 2008

Pertemuan KBL dengan Bupati Lembata Berakhir Ricuh

Sebagian kecil masyarakat Lembata di Jakarta yang tergabung Keluarga Besar Lembata (KBL) menggelar pertemuan dengan Bupati Lembata, Drs Andreas Duli Manuk. Pertemuan berlangsung di Ruang Kasuari Hotel Aston Atrium, Senen, Jakarta, Rabu 22/8.


Pertemuan bertujuan mendengar klarifikasi dan penjelasan dari Andreas Duli Manuk mengenai tindakannya menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) tentang rencana pertambangan emas dan tembaga di Lembata dengan PT Merukh Lembata Copper. Sejak awal, pertemuan yang berlangsung kurang lebih empat jam itu terasa kaku dan agak panas. Nuansa pertemuan seolah-olah mempertemukan dua kubu yang saling berlawanan, yakni Andreas Duli Manuk dan para pendukungnya berhadapan dengan kelompok masyarakat Lembata di Jakarta yang menghendaki dihentikannya seluruh proses rencana pertambangan.


Moderator pertemuan berusaha mencairkan suasana dengan menyanyikan lagu Himne Lembata pada awal pertemuan. Tetapi nuansa kaku dan panas tetap terasa. Ketegangan semakin meninggi saat Andreas Duli Manuk secara tiba-tiba merasa tersinggung hanya karena kekeliruan teknis pada sound system pengeras suara.


Ketika Andreas Duli Manuk sedang menjawab pertanyaan dari peserta pertemuan dengan suara tinggi dan agak emosional, volume sound system tiba-tiba mengeras, sehingga suara Bupati seperti sedang berteriak dengan amarah. “Saya tersinggung dengan cara seperti ini saat saya sedang menekankan jawaban. Saya tersinggung!” katanya spontan seraya melepaskan microphone dan menunduk.


Seketika juga, moderator dan beberapa peserta berusaha menenangkan Bupati yang tampak emosional dan gemetar. Setelah suasana agak tenang, dialog pun dilanjutkan. Suasana dialog semakin tegang.


Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Lembata di Jakarta (KBMLJ) mulai menuntut dan mendesak Bupati menghentikan seluruh proses rencana tambang saat itu juga. Tuntutan itu memuncak pada akhir dialog.


Para mahasiswa menunjukkan sikap tegas dengan membentangkan poster yang bernada protes kepada Bupati. Poster itu berbunyi antara lain, Ande Manuk dan Ande Liliweri Gagal Total. Turun Sekarang Juga, Cabut MoU Tambang Sekarang Juga, dan Bupati Lembata Membodohi, Menipu, dan Mengkianati Rakyat. Para mahasiswa juga membentangkan poster yang seolah-olah bergambar boneka bupati Manuk.


Seorang peserta dialog, Willem Lodjor, merasa tersinggung dengan aksi mahasiswa dan menilai mahasiswa telah melecehkan Bupati Manuk selaku pimpinan tertinggi Lembata. Peserta lain, Yoseph Batafor juga angkat bicara dan meminta agar Pieter Tedu Bataona sebagai moderator agar tidak menimbulkan keributan. Pieter Tedu Bataona dengan nada tinggi meminta agar menghargai pimpinan rapat. “KBL mengundang Bupati ke sini (Jakarta) bukan untuk gagah-gagahan tetapi untuk memecahkan masalah di lewotana,” tegasnya.


Sebelum menggelar aksinya, perwakilan KBMLJ Fransiskus Xaverius Namang mengatakan bahwa KBMLJ menolak secara tegas rencana eksplorasi tambang Lembata yang sudah disetujui Bupati Manuk melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan PT Merukh Lembata Coopers (MLC), anak perusahaan Merukh Enterprises milik pengusaha Yusuf Merukh. “Kami minta jawaban Bupati malam ini juga. Apakah mendukung atau menolak,” tegas Namang.


Belum apa-apa

Menjawab pernyataan KBMLJ agar rencana tambang di Lembata dibatalkan, Bupati Manuk mengatakan, rencana tambang belum apa-apa, belum proses (eksploitasi) tetapi baru pada tahapan eksplorasi. “Jadi, mau tolak apanya? Apa saya sudah kasih ijin supaya dia mulai tambang? Belum ka. Belum. Kan saya sudah jelaskan tadi. Apa tidak paham? Jadi engko punya tuntutan itu sama dengan orang tuntut waktu demo (di Lewoleba). Sama saja,” kata Manuk dengan logat Lembata.


Sementara itu, salah satu peserta pertemuan Agustinus Dawarja mengatakan, jika tambang di Lembata benar-benar ada maka pertanyaannnya adalah apakah menguntungkan masyarakat? Dan jika ada maka masyarakat harus menjadi pemegang saham sehingga hanya dengan kemungkinan itu mereka ditingkatkan kemampuannya. Dikatakan Gusti Dawarja, kalau luas daratan dan lautan yakni satu berbanding tiga sebagaimana disampaikan Bupati Manuk maka apakah kita berani mengambil resiko dengan pertambangan? Apalagi, pertambangan ini berada di daratan. “Apakah kalau ada emas di seluruh pulau (Lembata) itu kita berani mengambilnya dan akhirnya pulau itu habis (musnah) atau ada pilihan lain yang harus kita pikirkan?. Nah, Pak Bupati juga harus memikirkan. Apalagi sudah disebutkan tadi ada potensi perikanan dan rumput,” ujarnya.


Sedangkan Boni Hargens menegaskan, di mana-mana tambang tidak pernah mensejahterakan masyarakat lokal dan hal itu tidak bisa diperdebatkan lagi. Namun, yang terlihat langsung adalah gubernur dan bupati ganti jas dan terus kemana-mana. “Makan pagi di kampong, makan siang di Jakarta, dan masuk toilet di Singapura. Nah, itu dampak langsung dari tambang,” kata Boni Hargens.


Ia menambahkan, masyarakat setempat (lokasi tambang) memiliki theritory right, hak atas wilayah tinggal. Theritory right, lanjut Boni, setara dengan hak-hak azasi manusia (HAM). Artinya, protes terhadap tambang merupakan sesuatu yang hakiki dan harus dihargai. Dalam konteks ini, demonstrasi merupakan sebuah bentuk partisipasi politik dan kita tidak menolak hal (demonstrasi) itu. “Di mana-mana, demonstrasi itu sah hukumnya. Kalau dia tidak sah maka ilmu politik, negara tidak perlu ada. Dan saya kira yang menjadi sumber masalah adalah Negara, pemerintah,” katanya.


Boni juga menegaskan, demonstrasi yang diikuti oleh pastor merupakan perwujudan sebagai warga negara. Jadi, demonstrasi yang dilakukan pastor itu jangan dilihat karena ia adalah imam tetapi warga negara yang mempunyai hak yang sama. Sebagai pastor, ia juga punya peran sosial di masyarakat. “Flores atau NTT adalah wilayah yang mayoritas penduduknya Kristen. Maka penguatan masyarakat lokal hanya mengandaikan gereja. Kita tidak punya yang lain,” tegas Boni.


Ia melanjutkan, kalau Gereja tinggal diam maka justru ia berdosa. Jadi, ia harus bicara. Dia harus berdiri di depan. Maka apa yang dilakukan Pastor Vande (Marselinus Vande Raring SVD-Red), itulah kenabian. Bukan imam kalau hanya berdiri di mimbar berkotbah setiap hari minggu dan kumpul kolekte. Pastor, jelasnya, harus terlibat dalam realitas yang menindas. Maka dalam konteks ini, butuh kebesaran jiwa Pak Bupati untuk menerima kenyataan. Pun kalau tambang harus ditolak, maka butuh kebesaran jiwa.


Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan apapun. Beberapa orang peserta berusaha mendekati Bupati Manuk untuk memberikan beberapa solusi terkait masalah pro dan kontra rencana pertambangan.


Tampak hadir dalam pertemuan tersebut sejumlah tokoh tua dan muda Lembata yang bermukim di Jakarta dan beberapa pastor. Di antaranya Ketua KBL Pieter Tedu Bataona, Anton Enga Tifaona, Petrus Boli Warat, Drs Yoseph Pattyona, dan Albert Oleona, Petrus Bala Pattyona, SH, MH, Benyamin Amuntoda, Muhammad Kota, Pastor Mikael Peruhe OFM dari JPIC-OFM, Pastor Marselinus Vande Raring, SVD, dan Pastor Gabriel Main.


Alexander Aur/Ansel Deri

Warga Lembata Tolak Tambang Emas


Potensi tambang sudah dikenali sejak jaman moyang suku-suku Pulau Lembata. Namun, rencana penambangan oleh PT Merukh bersama Pemda berpotensi menghancurkan tanah, laut, dan ikatan dengan leluhur mereka. Warga menolak tambang bukan karena mereka menolak kesejahteraan atau tidak paham, melainkan karena sebuah bentuk kearifan lokal yang mereka pertahankan demi keberlangsungan hidup masyarakat kini dan generasi berikutnya.

Tambang emas adalah industri yang rakus lahan dan air. Untuk Lembata - pulau kecil dan tergolong daerah kering dan gersang, lahan dan air menjadi pembatas utama keselamatan warga Lembata. Oleh karenanya, tambang emas mengancam keselamatan warga Lembata.

Pulau LembataLembata merupakan salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur sebagai hasil pemekaran kabupaten Flores Timur pada 15 Oktober 1999, melalui UU Nomor 52/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata. Inilah aspirasi warga Lembata yang muncul sejak 1954. Disini ada delapan kecamatan, yakni Bayusari, Omesuri, Lebatukan, Ile Ape, Nubatukan, Atadei, Nagawatun dan Wulandoni, dengan luas wilayah 126.638 hektar, jumlah penduduknya tahun 2004 mencapai 98.114 jiwa.

Seperti kebanyakan daerah di NTT, Lembata tergolong daerah kering dan gersang. Ini juga didukung oleh satu budaya sistem perladangan tebas-bakar dan berpindah-pindah, ditambah kejadian kebakaran yang melanda sepanjang musim kemarau. Meski begitu, pertanian adalah tumpuan ekonomi warga. Pada 2000, misalnya, dari nilai total kegiatan ekonomi setara dengan Rp 88,7 miliar, pertanian menyumbang hingga 64 persen. Produksi hasil pertanian belum mencukupi pemenuhan kebutuhan lokal. Sementara jambu mete dan kelapa berkontribusi hingga Rp 5 miliar. Bersama sektor peternakan dan perikanan, juga kerajinan tenun ikat akan menjadi tulang punggung perekonomian NNT.

Perikanan tradisional juga menjadi penopang ekonomi warga Lembata, seperti tradisi Perburuan Ikan Paus. Di Pantai Selatan Lembata, terutama di Kampung Lamalera, telah lama dikenal masyarakat nasional dan internasional dengan tradisi perburuan ikan paus. Perairan Lamalera dan Lamakera merupakan daerah tempat hidup ikan paus. Pada musim dingin di perairan pasifik atau perairan lainnya, rombongan besar ikan paus akan mengungsi ke daerah selat sekitar Lamalera dan Lamakera. Saat itulah masyarakat mulai berburu ikan paus. Tradisi ini terancam hilang oleh kegiatan tambang dengan gelontoran limbah ke laut.

Saat ini, Lembata dihadapkan pada masalah minimnya infrastruktur. Kondisi sarana transportasi darat yang rusak, angkutan umum dan penyediaan listrik yang terbatas.
Potensi tambang sudah dikenali sejak jaman moyang suku-suku Pulau Lembata. Dalam bahasa lokal Lembaga disebutkan Ihin weren laba lodan, yang berarti adanya kandungan emas dalam tanah. Tradisi dan istilah inilah yang secara turun temurun diyakini bahwa emas adalah bagian dari “Ibu Bumi” yang diwariskan kepada mereka. Tak hanya emas, Lembata juga kaya bahan galian, diantaranya keramik di Nagawutung, Omesuri dan Buyasuri; besi dan pasir besi di Lebatukan, Buyasuri dan Namaweka; minyak tanah di Nagawutung; gas alam di Atadei; dan batu barit di Atanila.

Ancaman Tambang Emas Berdasarkan kronologi kasus rencana penambangan emas di Kabupaten Lembata, dapat dipelajari bagaimana sebenarnya sikap masyarakat terhadap rencana penambangan yang akan dijalankan Pemda bersama PT Merukh. Masyarakat tegas menolak rencana penambangan. Penolakan mereka ungkapkan melalui berbagai aksi: mulai surat pernyataan, aksi yang melibatkan massa dalam jumlah besar, sampai ritual dan sumpah adat. Sayang, sikap tegas masyarakat berhadapan dengan sikap pemerintah dan DPRD Kabupaten Lembata yang bersikukuh meneruskan rencana penambangan.

Ada yang beranggapan alasan penolakan masyarakat karena kurang atau tidak tepatnya sosialisasi. Padahal, mereka menolak bukan karena mereka tidak paham. Sebaliknya, mereka menolak tambang justru karena sepenuhnya sadar tentang apa artinya tambang bagi kehidupan mereka, kini dan di masa mendatang. Penolakan itu didasarkan pada sejumlah pertimbangan berikut:

Menghancurkan tanah, laut & ikatan dengan leluhur. Masyarakat menolak tambang, bukan saja karena merasa terancam kehilangan lahan pertanian dan hasil laut penopang hidup mereka. Penolakan juga dilandasi kekuatiran terputusnya ikatan dengan tanah warisan leluhur, yang berarti terputusnya ikatan mereka dengan para leluhur yang selama ini menjaga hidup mereka.
Melahirkan pengungsi dan konflik. Tak ada yang mampu menggambarkan kecemasan mendalam yang dirasakan warga atas rencana hadirnya tambang emas. Hidup keseharian mereka, yang betapapun sederhana, telah dirasakan sebagai kesejahteraan. Kesejahteraan ini jauh melebihi keberlimpahan materi yang dijanjikan tambang. Dari sini bisa dinilai betapa jauh jarak sudut pandang antara pemerintah/ DPRD dan khalayak biasa dalam melihat ukuran kesejahteraan.

Warga menolak tambang, tentu bukan karena mereka menolak kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan itulah yang mereka persoalkan. Berbeda dengan para pejabat, bagi masyarakat yang bersahaja itu, kesejahteraan sama dengan kampung halaman warisan leluhur (Lewoulung), lahan pertanian (Mang, Nura Newa) yang menjadi penopang kehidupan, dan pusat-pusat ritual adat (Nuba Nara). Kehilangan semuanya itu membuat kehidupan berubah menjadi hilang, dicabut dari tempat mereka berakar dan berbagi sebagai komunitas selama puluhan tahun. Terusir dari kampung halaman berarti hidup di atas tanah suku orang lain yang kelak bisa menimbulkan konflik.

Hanya menguntungkan segelintir orang. Berdasar pengalaman penambangan emas di wilayah lain, warga meragukan keuntungan yang bisa diperoleh dari tambang. Lebih dari itu, mereka juga belajar bagaimana tambang hanya akan menguntungkan orang-orang tertentu, bukan warga setempat. Mereka bukan hanya berpikir dampak negatif tambang terhadap kehidupan alam dan manusia, tetapi juga dampaknya bagi generasi berikutnya.

Kegelisahan karena kehidupannya terancam. Rencana penambangan yang dibuat pemerintah bersama PT Merukh membuat masyarakat gelisah karena merasa kehidupannya terancam. Terlebih sejak mereka mendengar daerahnya termasuk dalam lokasi bakal tambang. Kegelisahan yang dirasakan masyarakat ini mendorong para kepala desa mengambil sikap berpihak pada rakyat. Bukan sekedar menolak tambang, masyarakat juga mengajukan alternatif lain di luar tambang yang bisa dikembangkan pemerintah. Salah satu alternatif yang diajukan masyarakat adalah pengembangan potensi kelautan, pertanian, dan pengembangan pariwisata.

Sikap menolak tambang adalah bagian kearifan lokal. Sikap masyarakat untuk menolak tambang bukanlah bentuk ketidakpahaman atau cerminan kebodohan sebagaimana dilihat para elite selama ini. Sebaliknya, itu adalah bentuk kearifan lokal yang mereka pertahankan demi keberlangsungan hidup masyarakat kini dan generasi berikutnya. Masyarakat adat memiliki kearifan menghormati alam sebagai ibu mereka dan karenanya mereka juga tidak memperjualbelikan tanah. Mereka tidak menghendaki kesejahteraan sesaat, yang hanya diukur dari tumpukan rupiah atau bongkahan emas. Kesejahteraan jangka panjang mengandalkan hidup selaras alam adalah pilihan mereka.
Karenanya, mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan alam pada mereka. Hidup berlimpah dengan cara menyakiti bumi adalah tabu. Eksploitasi manusia atas alam di mata masyarakat adat Lembata telah membuat alam sendiri sakit dan menderita. Dan manusia juga yang akan menanggung akibatnya.

Dua Pertimbangan
Pertama, Lembata tergolong daerah kering dan gersang, dengan 7 hingga 8 bulan musim kemarau. Curah hujannya kurang dari 60 mm per bulan. Kesulitan air adalah problem utama. Kegiatan tambang, mulai penggundulan hutan, pembongkaran kulit dan perut bumi, berpotensi mendatangkan bencana banjir, tanah longsor dan krisis air yang jauh lebih buruk lagi. Sebelum ada pertambangan saja, masyarakat sudah kesulitan air. Apalagi bila ada industri tambang yang bukan hanya rakus air, tetapi juga berpotensi mencemari sumber air yang ada.

Kedua, Kawasan Lembata memiliki kemiringan antara 0-75% itu, merupakan daerah yang sangat rentan terhadap bencana. Sebab letaknya di jalur lempeng bumi yang senantiasa bergerak. Ia juga berada dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dengan gunung-gunung api yang aktif, baik di darat maupun di laut selatan pulau. Adanya pertambangan bisa berdampak pada: a) terjadi patahan lapisan bumi. Patahan lapisan bumi terjadi karena penggalian atas lapisan bumi yang lain. b) mengingat bumi tidaklah datar melainkan bulat lonjong, maka penambangan akan meremukkan lapisan tanah. Tambang berpotensi membuat pulau Lembata tenggelam. Apalagi wilayah yang dicadangkan PT Meruhk mencapai keseluruhan luas pulau


Lembata yang kecil itu.Tipuan dan Akal Licik. Dalam materi sosialisasi oleh PT Merukh dihadapan bupati beserta dinas terkait dan ketua DPRD, perusahaan tambang hanya memaparkan aspek keuntungan tambang.

PT Merukh sama sekali tidak memaparkan soal kerugian atau resiko yang dihadapi pemerintah dan masyarakat Lembata jika tambang itu berjalan. Disebutkan manfaatnya: (1) Community development, dengan memberi beasiswa bagi pelajar-pelajar berprestasi, baik pendidikan tingkat dasar sampai tinggi. (2) Membangun pemukiman berupa kota mini bagi penduduk yang tanahnya dipakai perusahaan. (3) Memberi prioritas pertama bagi penduduk lokal untuk pembukaan lapangan usaha UKM dan lapangan kerja. (4) Pembangunan infrastruktur berupa jalan raya, BTS, dan tenaga listrik. (5) Sumbangan untuk APBD. (4) Membangun rumah sakit. (4) Royalti dari hasil tambang yang akan dimasukkan ke rekening Pemkab kabupaten Lembata.

Masyarakat Lembata dengan kearifannya masih bisa melihat alternatif lain di luar tambang dan tidak silau gemerlap butiran emas. Emas, yang untuk mengambilnya saja kita harus merobek dan menyakiti rahim ibu pertiwi itu, memang tidak pantas dibela dan diagungkan sebagai penopang kesejahteraan rakyat. Terhadap rencana pertambangan yang hendak dijalankan pemerintah bersama PT Merukh, masyarakat memilih kembali kepada kearifan leluhur yang menempatkan emas bagian rahim “Ibu Bumi” yang tidak sepantasnya dibongkar.

Berdasarkan kronologi kasus pertambangan sejak ditandatanganinya MoU oleh Bupati Lembata sampai sidang paripurna DPRD untuk meninjau kembali MoU, dapat dilihat bahwa seluruh komponen masyarakat di seluruh lokasi bakal tambang, yang terdiri dari tokoh masyarakat, tetua adat, pemimpin desa, petani, nelayan, perempuan, kaum muda dan para pastor sedekenat

Lembata telah dengan tegas menolak tambang. Artinya, dalam kasus pertambangan ini, pemerintah tidak memiliki legitimasi untuk meneruskan rencana pertambangan di Lembata.
Meneruskan rencaa pertambangan hanya akan membawa kerugian jangka panjang, bukan hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi kabupaten Lembata secara keseluruhan.

Sumber : JPIC OFM, JATAM
Sumber: http://www.jatam.org/content/view/393/1/
Penulis: Jatam

Tokoh Masyarakat Lembata Tolak Penambangan

LINGKUNGAN

JAKARTA (MI): Tokoh masyara­kat Lembata menolak kehadiran perusahaan tambang emas di Pu­lau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka khawatir penambangan itu akan merusak lingkungan sekitar Pulau Lem­bata.

Kondisi tanah di Pulau Lembata labil. Penambangan emas akan membuat pulau semakin ambles sehingga permukaan air laut se­makin naik.

"Akibat penambangan, tidak menutup kemungkinan Lembata akan tenggelam," kata Pater Mi­kael OFM, tokoh masyarakat Lembata pada acara diskusi di Jakarta, Sabtu (21 / 6).

Sudah lama masyarakat dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata mengetahui adanya kandungan emas di Pulau Lem­bata. Hal itu diketahui dari bahan baku keramik di daerah Nagawu­tung dan Buyasuri. Karena itu, perusahaan tambang PT Merukh tertarik melakukan penambang­an di Lembata.

Belum lama ini, Pemkab Lem­bata dan PT Merukh telah me­lakukan nota kesepakatan pe­nambangan emas di Lembata.

"Masyarakat bukan menolak kesejahteraan. Tapi, arti kesejah­teraan menurut mereka adalah tinggal aman di tanah kelahiran. Bukan hanya emas. Ini yang bisa kami sebut sebagai kearifan lokal karena mereka lebih berpikir pan­jang daripada pemkab," ujar Pa­ter yang mewakili warga.

Eksplorasi penambangan emas rencananya selambat-lambatnya dilakukan pada Oktober 2008. Pater mengaku sangat khawatir penambangan itu akan merusak kehidupan masyarakat dan eko­sistem di Lembata. (*/H-2)


Sumber: Media Indonesia,