Selasa, 07 April 2009

PENANGKAPAN IKAN PAUS DI LAMALERA, FLORES, NTT

Antara Tradisi dan Opini Konservasi

Siapa yang tak kenal Lamalera. Budaya dan tradisi penangkapan ikan pausnya sudah menggema ke seluruh pelosok nusantara bahkan dunia. Kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk bercocok tanam, membuat mereka menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Hasil laut akan dibarter dengan hasil perkebunan seperti jagung, padi dan kopi ke desa-desa di pegunungan.

Salah satu buruan laut yang sudah menjadi tradisi turun temurun adalah berburu ikan paus. Bagi masyarakat umumnya, berburu mamalia terbesar ini merupakan hal yang biasa, andai saja menggunakan peralatan yang canggih dan kapal yang besar.

Namun tidak demikian dengan nelayan di Lamalera. Hanya dengan menggunakan peralatan yang sederhana, monster laut itu takhluk di tangan mereka. Modalnya adalah keberanian. Keberanian untuk menghadapi mamalia terbesar ini bukan tanpa alasan. Hal ini berkaitan erat dengan perjuangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai nelayan.

Menurut cerita, tradisi berburu ikan paus di Lamalera sudah dimulai sejak abad XIV dan terus berlangsung hingga kini. Laut Sawu yang berada di antara Pulau Timor dan Pulau Lembata menjadi tempat para nelayan menangkap ikan paus. Sumber makanan yang berlimpah yaitu plankton menjadikan laut Sawu sebagai tempat singgah gerombolan ikan paus yang datang dari kutub Selatan ke Samudera Pasifik.

Tradisi menangkap ikan paus ala Lamalera adalah atraksi yang luar biasa terutama bagi orang yang berasal dari luar daerah. Tradisi ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya tradisi yang ada di wilayah Nusantara bahkan dunia. Hanya dengan peralatan yang sangat sederhana seperti tempuling atau harpoon tradisional dan tali, ikan seberat 15-20 ton bahkan lebih dapat ditakhlukan oleh sekelompok nelayan dengan 2 atau 3 perahu tradisional yang relatif kecil dibandingkan dengan ikan yang mereka tangkap. Keberanian dan pengalaman yang matang dari orang-orang pilihan atau yang sudah mewarisi keahlian dari orang tua merekalah yang bisa melakukan tradisi menangkap ikan raksasa ini.

Menurut Tokoh Muda Lamalera, Gregorius B., kegiatan menangkap ikan paus didahului dengan upacara ritual. Malam sebelum musim lefa sekelompok pemilik perahu mengadakan doa bersama di rumah adat masing-masing. Hari pertama musim lefa ini disebut dengan nama upacara tebu nama fatta. Seluruh masyarakat kampung Lamalera berkumpul di pantai berpasir di depan Kapel (gereja kecil) Santo Petrus (kapel ini terletak di tengah-tengah rumah peledang yang dibangun sejajar dengan pantai) untuk bermusyawarah mengenai penangkapan ikan paus.

“Penangkapan ikan paus ini biasanya dimulai awal Mei dan berakhir akhir Oktober. Kegiatan ini diawali dan diakhiri deng-an upacara Misa (Ibadat dalam agama Katolik),” kata alumnus IKJ ini menjelaskan.

Goris menceritakan, dalam perburuan ikan paus, seorang lamafa atau sang pemburu adalah tokoh yang sangat sentral. Seorang lamafa biasanya diturunkan dari moyangnya atau juga seorang yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukan itu. Salah satu syarat dasar menjadi seorang lamafa harus mampu berdiri dengan seimbang dan kokoh di hamalolo atau anjungan terdepan pada paledang atau perahu tradisional.

Pemilik paledang atau tena alep yang digunakan untuk menangkap ikan paus memiliki tugas untuk membagi ikan paus hasil tangkapan itu. Ikan itu akan dipotong menurut bagian-bagian yang sudah ditentukan dan dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam proses ini.

Selain dikonsumsi, daging Ikan paus juga akan dijual atau dibarter dengan bahan makanan lain dari desa-desa terutama di pegunungan. Sementara minyak ikan dapat digunakan sebagai bakar lentra dan juga dimanfaatkan sebagai obat yang dipercaya bisa mengobati berbagai macam penyakit.

Namun, kini atraksi budaya yang sangat mengagumkan ini kini harus berhadapan dengan lembaga atau pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk melarangnya. Dengan dalih perlindungan terhadap mamalia laut yang hampir punah ini, rencananya mereka akan mendeklarasikan kawasan laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional. Hal ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat Lamalera, baik yang berada di Lamalera maupun di perantauan.

“Masyarakat sudah sangat resah dengan isu ini. Kita harus mengambil langkah nyata untuk menggagalkan upaya ini karena ini adalah tradisi turun temurun yang sudah berlangsung berabad-abad,” kata Bona Beding, salah satu tokoh masyarakat Lamalera dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus Lamalera di Jakarta.

Piter Bala Pattyona yang juga hadir saat itu menegaskan, penangkapan ikan paus di Lamalera tidak dilarang. Karena dalam konvensi PBB sudah diatur bahwa negara-negara yang dilarang menangkap ikan paus adalah Jepang, Kanada dan Norwegia. “Lamalera tidak termasuk daerah yang dilarang. Jadi kalau berbicara dalam tataran internasional, maka pihak-pihak yang hendak melarang penangkapan ikan paus ini adalah mereka yang tidak mengerti mengenai aturan dalam konvensi PBB,” kata praktisi hukum ini menjelaskan.

Piter Tedu Bataona, Ketua Keluarga Besar Lembata Jakarta menambahkan, ada beberapa hal yang menjadi pantangan para nelayan saat berburu ikan ini. Di antaranya adalah ikan hamil atau yang sedang menyusui dilarang untuk ditangkap. Ikan yang mengangkat ekor saat hendak ditangkap juga pantang untuk ditikam karena menurut kepercayaan ikan tersebut tidak mau mati atau tidak mau menyerahkan diri. Apabila dilanggar maka sudah pasti nasib yang kurang baik akan menimpa mereka. “Seperti kejadian 10-15 Maret 1994 silam,” katanya.

Lepas dari pro-kontra di atas, beberapa pertanyaan perlu diajukan untuk mendapatkan jawaban kritis. Pertama, mungkinkah perburuan dengan alat serba tradisional memusnahkan populasi ikan paus? Kedua, bagaimana mungkin tradisi ini dapat mempengaruhi jumlah populasi? Sebab ikan paus yang diburu di Lamalera adalah individu yang “nyasar” ke laut Sawu. Ini berarti perburuan tersebut tidak ada hubungannya dengan habitat ikan paus. Ketiga, dapatkah kita menyebutkan jumlah ambang populasi ikan paus untuk menentukan batas punah atau tidak punah?

Namun kita sepakat penangkapan ikan paus secara besar-besaran perlu dilarang.

Sumber; Majalah Pendidikan INSIDE, April 2009 Rubrik : JALAN-JALAN

(PIUS KLOBOR/bs)



Tidak ada komentar: